Surat untuk Hujan

Ada apa denganmu, kenapa siklusmu berubah. Rajin sekali datang subuh-subuh menginjakkan tungkai kakimu yang panjang-panjang itu di atas genteng rumahku. Biasanya kan, kamu datangnya sore hari. Meleleh di jendela. Menyusup lewat gorden coklat tua. Menyusup melalu eternit di langit-langit kamarku.


Kamu tidak suka aku menulis macam ini?
Tahukah kamu, aku suka dengan kehadiranmu sore ini. Lagipula, sudah lama kita tidak bercengkrama ditemani lampu belajar dan suara berderit getaran hanphone, atau suaraku yang sedang menekan keypad berjejer pada handphone.


Hey hujan, apa kabarmu?


Hujan, kamu pernah nggak merindukan seseorang yang tidak merindukanmu?
Hujan, kamu pernah nggak memikirkan seseorang yang tidak memikirkanmu?
Hujan, kamu pernah nggak peduli sama seseorang yang nggak peduli sama kamu?


Pernah.


Hujan, ketika kau merasakan hal semacam itu apa yang kemudian kamu lakukan?
Ah, aku sudah bisa menebak jawabanmu apa. Aku bisa mengerti dan merasakan apa maksud darimu.
Aku melirik jam di layar digital meja depanku. Pukul 19.26


Hujan semakin deras.


Aku melangkah maju, mengintipmu dari jendela. Diluar sangat gelap. Hujan kamu nggak kasian sama yang lagi main diluar?
Aku melangkah semakin maju.  Memincingkan mata, dan melirik ke kanan dan kiri. Siapa yang kamu rindukan? Apa yang salah denganmu?
Memandangi luar, mengamati butiran hujan yang membanting dirinya, menyaksikan kaki hujan yang panjang.





Aku melangkah ke samping, mengamati butiran yang menempel di kaca jendela.
Hey, lihat ini hujan mengukir inisial namamu di kaca jendelaku.


Hujan malam ini , ingatan tentang namamu, memikirkanmu, semua!
Kamu datang disaat kamu tidak seharusnya datang, karena ingatan tentangmu disini sedangkan sosokmu sudang tidak disini. Sedang apa kamu disana bersama hujan, teman?


Seolah dunia
Bagai dimusim semi



*backsound: Hujan Kemarin.*

Komentar

Postingan Populer