Satu Jam Saja

Jangan berakhir
Aku tak ingin berakhir
Satu jam saja
Kuingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada


Aku pernah membuat suatu peraturan dengan seorang sahabat, ketika aku sedang berdua memandangi langit malam.
"Bikin permainan yuk, namanya Satu Jam Saja. Jadi, kita boleh mengutarakan perasaan yang paling dalam dari kita dan masing-masing kita beri kesempatan satu jam aja."
Kapan permainan yang kita buat itu kita mainkan? Kapanpun. Dalam waktu seminggu aku tak pasti memainkannya.


Waktu berjalan cepat, kami masih terus memainkannya. Satu Jam. Mudah, hanya ditemani teh hangat yang kadang di ganti susu, kemudian keripik kentang semua sudah lengkap. Kita memulai permainan malam itu, di tempat tongkrongan biasa. Halaman belakan yang dilengkapi gazebo di rumahku. Kami menyebutnya rumah kanci;. Kenapa? Karena kita suka nyolong makanan dari dalam, kemudian membawanya ke tempat ini. Ah, meskipun yang aku ambil bukan timun seperti di dongeng, tapi aku anggap sama dan kami sering duduk di rumah kancil, apapun disini.


"Eh, aku tiba-tiba naksir Hana nih. Abis kemarin kita dapet project satu team, satu tema dan banyak hal, jadi kudu sering kontak eh malah keterusan deh. Sampe sekarang kita jadi sering sms-an gitu. Kemarin pengen ngajakin dia nonton, eh malah dia pergi sama temen-temennya. Patah hati banget. Tapi seriusan, Hana canti, baik, pinter lagi. Kurang apa sih? Menurutku, dia kurang punya aku. Hahhaah"


Satu jam belum berlalu. Aku masih menungguinya selesai bercerita, dan lama sekali rasanya. Bosan? Iya, ingin rasanya aku memasukkan obat tidur di teh yang di teguknya biar dia diam. Membosankan. Tapi, aku harus mendengarkannya, dan kadang aku menyelipkan pendapat, kadang dia menanyakan pendapatku juga. Akhirnya satu jam-nya selesai.
"Eh, kamu nggak pengen nyari pacar po? Kasian, sejak kapan single? Cari sana biar nggak kesepian biar kita kalo jalan bisa bareng"


Jujur, aku masih menikmati komitmen dalam persahabatan daripada berpacaran. Aku tak harus takut berselingkuh, bukan berarti aku bisa menyelingkuhi sahabatku. Bukan.....
Aku bisa bermain dengan siapa saja, tapi dengan tetap menjaga perasaan sahabatku. Sahabat masih menjadi segalanya saat ini, dan seterusnya meskipun aku sudah berkeluarga besok.


Ada satu rahasia yang dia simpang denganku. Sore itu gerimis, menjadi penghalang kami untuk keluar sore itu. Padahal ada yang ingin aku ceritakan padanya...


Kringgg...............
Telfon genggamku berbunyi. Dia menghubungiku, karena pasti nggak bisa keluar dan dia kangen aku haha.
Kami berbicara kesana-kemari. Saling melontarkan kekesalan atas gagalnya rencana kami sore itu...


Dia memulai percakapan seriusnya.... "Eh... Satu jam ya?"
Dia meminta waktuku satu jam untuk mendengarkan. Baik, aku mulai mendengarnya menceoteh.


"Jujur nih, sebenarnya aku nyimpen sesuatu dari kamu yang emang nggak banyak orang tau, kecuali keluargaku. Tolong ya, jangan bilang ke siapa-siapa. Jadi, aku sejak lulus SD kemarin punya penyakit kanker, dan itu penyakit keturunan. Eyang kakungku dulu juga meninggal karena itu, kemoterapi yang keberapa ya....., pokoknya dalam proses penyembuhan lah ternyata kankernya udah sampai di otak dan menyerang syaraf nya. Jadi suka ngelantut, dan lama kelamaa nggak bisa apa-apa terus koma deh...."


Aku? Diam. Diam. Diam.
Bukan diam seribu bahasa, tapi diam tak berbahasa. Bahkan berkomentarpun aku tak sanggup.
Dia masih terus bercerita, soal penyakitnya yang di derita itu. Aku nggak nyangka dibalik kejailan dan kejahatannya itu dia menyimpan rahasia terbesar atas penyakitnya, bahkan aku teman yang paling dekatnya aja nggak dikasih tau sejak dulu. Baru sekarang malah,dan taunya telat banget karena kata dia kankernya udah mulai menyebar kemana-mana. Cukup tau....


"Kok diem? Eh, udah lebih sejam ya?"


Dia menyadarkanku. Aku jadi tersadar sepertinya kita sudah keluar dari permainan. Ah, biar saja. Aku masih penasaran dan dia tetap meneruskan ceritanya.


"Minggu depan aku nggak masuk mugkin. Aku mau menjalani kemoterapi yang pertama. Ih, takut sebenarnya tapi kayaknya meminimalisir kanker ini ya cuma dengan cara itu. Doain aku ya..."


Masih di balik keterkejutanku sore itu, aku masih tetap mengagumi sosoknya yang selalu tenang karena penyakit yang berhinggap di tubuh berisinya itu.


"Kamu temani aku besok minggu depan ya? Aku mau ada sahabatku pas aku di alam bawah sadar karena efek kemoterapi itu"


Aku mulai berkaca-kaca. Apa yang akan terjadi padaku kalau melihat sahabatku terdiam tak sadar karena obat, haruskah aku menungguinya?


Aku menerima tawarannya dengan penuh ikhlas. Dan waktu akan berjalan cepat pasti, setelah sore itu berakhir dan menemui minggu depan yang di maksud.


"Hey, udah dateng ya? Gimana tadi di sekolahan?"
Dia datang menghampiri aku yang duduk di depan ruang rawatnya di rumah sakit. Dia habis dari kamar mandi, makanya tadi waktu aku datang dia nggak ada.
Aku sudah bilang kalau akan pulang telat karena sepulang sekolah aku harus menemani kemoterapinya.


Siapa yang menyangka itu sore terakhir buat kita?


Aku memintanya untuk istirahat di kasur, aku mengantarnya dan menemaninya. Didalam ruangan itu aku hanya berdua, orang tuanya ada urusan dengan dokter jadi aku akan dengan senang hati menemaninya.
Bagaimana perasaanmu melihat sahabat terbaikmu yang selalu ada menemanimu, kini harus kau temani di rumah sakit dan dalam keadaan ia berpakaian pasien? Aku masih ingat hingga saat ini, bau zat kimia yang menyengat obat mencekat masuk ke dalam hidungku. Ah, aku menangis dalam hati.


"Aku bosen banget disini, sejak tadi cuma duduk tidur duduk tidur dengerin musik sama sms kamu. Hana udah nggak sms aku kayak biasanya, makanya sepi. Dan kamu temenku smsan sekarang, sejak dulu sih ya nggak berubah haha."


Aku hanya tersenyum kecut. Sejak dulu aku memang sering berkomunikasi dengan dia melalui sms, hanya sekedar menanyakan keadaan, wujud perhatian seorang sahabat dan memang nggak ada kerjaan.


"Eh, lemes banget. Tadi jam 2 baru di suntikin, sekarang ada temen malah kerasa lemesnya. Nggak banget kan nih obat? Mati deh gue abis ini, haha. Kalo mati, tutupin ni selimut ke mukaku ya? Hahaha"


Aku benci caranya bercanda macam itu. Tak tahukah semalam aku menangisi penyakitnya, mendoakan atas kesembuhannya dan terus begitu? Aku tak mau doaku dibuat sia-sia.


"Main satu jam-an yuk. Bosen, dah lama nggak main beginian kan..."


Aku hanya tertawa geli. Rasanya baru seminggu yang lalu aku bermain satu jam sama dia, waktu aku tau dia sakit dan sekarang aku menemani si penyakitan di rumah sakit.


"Kamu mugnkin punya waktu satu jam untuk berbicara sampai aku benar-benar nggak sadar karena pengaruh obat. Cerita apa kek"


Aku berfikir, kemudian terlintas sesuatu. "Oke, aku mau cerita aja. Dengenrin ya?"


"Aku punya sahabat, sekarang sahabatku sakit. Sahabat yang paling aku sayang, dan aku nggak mau kehilangan dia. Setiap malam aku doa buat dia, buat kesembuhannya. Tau nggak sih, aku nangis kalo inget sahabatku itu sakit dan sekarang lagi terbaring di rumah sakit."


Dia tersenyum, dan mukul lenganku sambil terbatuk. Efek obat? Entahlah. Dia tersenyum lagi ke arahku, dan terus.... Dia memintaku untuk meneruskan satu jam-ku.


"Hari ini pengobatan pertamanya, aku mau nemenin dia di rumah sakit. Dan dia sekarang kelihatan lemes banget nih hahah. Ya ampun mukamu jelek banget, pengen tak tumpahin teh anget haha."


Dia tersnyum, sudah tak kuta tertawa karena pengaruh obat. Dia berbicara lirih....
"Kalau sekarang temanmu itu di depanmu, dan umurnya tinggal satu jam seperti permainan yang kita mainkan ini, kamu mau bilang apa?"


"Aku sayang banget sama kamu, melebihi apapun. Jangan pergi dari hidupku, kamu di duniaku tapi tak di hidupku lagi. Aku sayang kamu, temanku yang paling aku sayang...."


Kemudian aku menghabiskan sisa satu jam-ku dalam diam, mengamatinya yang sudah terlelap tak sadar. Satu jam. Dua jam. Lama juga aku disini melihatnya bernafas sesak dan tak mendengar panggilanku lagi.


Aku berpamitan lalu pulang, aku harus berganti seragam dan ada tugas untuk besok yang belum di kerjakan. Aku menusap lembut dahinya, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Yang hanya aku yang tau, dia yang mendengar tanpa sadar, dan tuhan melihat.


Siapa yang menyangka akan menjadi seperti ini akhirnya? Aku baru selesai mandi dan mendapat sms dari ibunya kalau dia masuk ICU karena kritis mendadak. Aku tak bisa menahan keterjutanku, dan langsung meluncur ke rumah sakit..."


"Eyangku meninggal waktu kemoterapi yang ke.... berapa ya? Lupa. Pokoknya habis kemoterapi itu beliau langsung nggak sadar dan masuk ICU. Dalam hitungan jam nggak terselamatkan karena kankernya udah nyebar di semua badannya. Kalau aku gimana ya......?"



Aku tersentak mengingat percakapan sore itu. Aku jadi mengingat ceritanya, bagaimana kalau penyakit yang menurun dari kakeknya ini tidak bisa di sembuhkan? Dan nyawannya tak terselamatkna sama seperti kakenya? Aku mulai komat-kamit di jalan berdoa.


Rumah Sakit.


Aku langusng berlari ke ICU. "Tadi dimasukin ICU jam 17.27, sekarang masih dalam pengawasan dan penangan dokter. Kamu kalo masuk boleh, itu kain nya kegantung disitu"
Ibunya berkata dalam keadaan tangis yang tertahan. Aku bisa merasakan kesedihannya, dan melihat matanya yang merah itu.
Aku menambil baju untuk pengunjung dan memasuki ruang ICU. Disana ada dokter yang sedang memeriksanya.


Aku mendekat, melirik jam yang menunjukan pukul 18.12. Semakin dekat aku melangka, menyentuh tangannya yang mulai dingin dan menangisi tubuh kakunya disitu. Aku mulai membayangkan hal-hal yang tidak logis. Aku semakin tak tahan, dan menangis sejadi-jadinya. Kemudian keluar....


Bergantian dengan ibunya, akhirnya aku memutuskan untuk duduk diluar.


18.20


Tangisan pecah di ruang tunggu. Aku melongok masuk dan melihat saudara-saudaranya menangis disitu, aku sudah tak karuan disitu, aku bingung mau berbuat apa. 
Aku hanya memandangi ibunya dari kejahan, tanpa bertanaya aku sudah bisa membaca tatapannya padaku. Aku mengerti.....


Jangan berakhir
Karna esok takkan lagi
Satu jam saja
Hingga ku rasa bahagia
Mengakiri segalanya


Dimana letak kebahagiaan ketika semua sudah berakhir? Tak ada artinya lagi. Hidupnya berakhir di ruang ICU. Dan aku masih belum bisa menerima kenyataan.


Pemakanan


Aku mengantarnya sampai pemakaman diiringi dengan tangisanku. Aku tak berani mendekat ke prosesi tu, hanya memandangi nya dairi jauh. Satu jam saja, aku hanya akan disini satu jam saja dan berbicara dengannya dalam hati. Semoga dia masih bisa merasakan permainan ini untuk terakhir kali, sebelum di kubur dalam dan tak bisa dilihat lagi.


Tapi kini tak mugnkinlagi
Katamu sudah tak berarti
Satu jam saja
Itupun tak mugnkin
Tak mungkin lagi...

Komentar

Postingan Populer