Surat Rahasia dari Aku.
Untuk kamu, yang aku pandangi dari kejauhan.
Rasanya aku tak mengenalmu beberapa jam yang lalu. Bukan dalam hitungan 2 jam yang lalu ataupun kurang dari itu. Hitungan jam bisa saja aku menyebutnya sekia ribu jam yang lalu, sebelum aku mengenalmu.
Siapa kamu?
Aku mengenalmu dari siapa, entah aku lupa. Tak ingin ku ingat. Yang aku tau, aku bisa menjalani hari setiap detiknya dengan ada nya namamu di genggamanku. Kamu tak pernah berada lama di dekatku, tapi kamu tersimpan dalam genggamanku... Disini, di dalam hape butut berwarna hitam yang selalu penuh dengan namamu. Perlahan bergerak turun, lalu berganti dengan nama yang lain. Dan kamu akan tetap muncul di atasnya.
Ya, aku sedang mengamati timeline di twitter hari ini. Besok pasti juga begitu, dan kamu tau aku kemarin juga mengawasimu.
Aku terduduk sore ini sendiri mengamati senja, melihat namamu yang terus bermunculan di timeline. Aku membayangkan sosokmu yang menarik, eksotis menawan dan masih dalam bayanganku kamu berbalut kain merah. Kamu pasti cantik :))
Dalam bayagnku, aku melihatmu duduk memandang ke luar jendela. Di luar sana mendung patah—hujan seperti ingin menangis. Rumput kedinginan dan poninya tak lagi berterbangan. Gelegar guntur begitu pilu di langit. Sementara angin dingin tidak peduli, mereka tetap menyusup sampai daging. Aku lihat kau mulai membalut dirimu dengan sweter merah, senada dengan kaos yang kamu pakai.
Aku penggemar rahasiamu. Kerjaannya hanya menghubungi melalui dunia maya, menonton setiap tweet yang muncul. Aku bertanya pada langit sore itu, apa iya dia memikirkan hal yang sama denganku? Pertanyaa bodoh.
Aku tak tahu wajah dari penyanyi ini, tapi aku sering melihatmu meng-update di twitter kalau sedang mendengarkan lagu ini. Sampai aku mengenal penyanyinya, dan menyukai judul lagu ini.
Last night in my sleep
I dreamt of you riding on my counting sheep
Oh how you’re always bouncing
Oh you look so annoying.
Itu potongan lirik yang sejak tadi menemaniku. Mocca - Secret Admirer. Jariku masih melompat-lompat di atas keypad bergoyang ini. Ah, aku suka suasanya sepi dimana hanya aku dan earphone serta suar khas keypad yang timbul akibat tekanan. "cethek.... cethek.... cethek.."
Aku benci ketika harus memikirkan tentang kamu yang meiliki perasaan sama atau tidak. Aku benci menjadi gelisah ketika sendirian seperti ini. Gelisah akan membuatmu bertanya terus. Mempertanyakan segala sesuatu, kenapa tidak begini kenapa tidak begitu saja toh nantinya begini atau toh nantinya begitu. Sekarang aku jadi bertanya, apa yang aku gelisahkan? Kamu? Tidak.
Momen yang langka datang, ketika tulisanmu terkesan memanggilku. Aku tau kamu tak menuliskan namaku disitu, tapi aku merasa terpanggil dan rasanya ingin membalas dengan sapaan "hai.." kek kamu. Ah, aku malu.
Setelah aku mengumpulkan nyaliku, aku tak mendapati dirimu muncul disitu lagi.
Lain kali aku harus lebih cepat mengambil tindakan.
Rasanya aku tak mengenalmu beberapa jam yang lalu. Bukan dalam hitungan 2 jam yang lalu ataupun kurang dari itu. Hitungan jam bisa saja aku menyebutnya sekia ribu jam yang lalu, sebelum aku mengenalmu.
Siapa kamu?
Aku mengenalmu dari siapa, entah aku lupa. Tak ingin ku ingat. Yang aku tau, aku bisa menjalani hari setiap detiknya dengan ada nya namamu di genggamanku. Kamu tak pernah berada lama di dekatku, tapi kamu tersimpan dalam genggamanku... Disini, di dalam hape butut berwarna hitam yang selalu penuh dengan namamu. Perlahan bergerak turun, lalu berganti dengan nama yang lain. Dan kamu akan tetap muncul di atasnya.
Ya, aku sedang mengamati timeline di twitter hari ini. Besok pasti juga begitu, dan kamu tau aku kemarin juga mengawasimu.
Aku terduduk sore ini sendiri mengamati senja, melihat namamu yang terus bermunculan di timeline. Aku membayangkan sosokmu yang menarik, eksotis menawan dan masih dalam bayanganku kamu berbalut kain merah. Kamu pasti cantik :))
Dalam bayagnku, aku melihatmu duduk memandang ke luar jendela. Di luar sana mendung patah—hujan seperti ingin menangis. Rumput kedinginan dan poninya tak lagi berterbangan. Gelegar guntur begitu pilu di langit. Sementara angin dingin tidak peduli, mereka tetap menyusup sampai daging. Aku lihat kau mulai membalut dirimu dengan sweter merah, senada dengan kaos yang kamu pakai.
Aku penggemar rahasiamu. Kerjaannya hanya menghubungi melalui dunia maya, menonton setiap tweet yang muncul. Aku bertanya pada langit sore itu, apa iya dia memikirkan hal yang sama denganku? Pertanyaa bodoh.
Aku tak tahu wajah dari penyanyi ini, tapi aku sering melihatmu meng-update di twitter kalau sedang mendengarkan lagu ini. Sampai aku mengenal penyanyinya, dan menyukai judul lagu ini.
Last night in my sleep
I dreamt of you riding on my counting sheep
Oh how you’re always bouncing
Oh you look so annoying.
Itu potongan lirik yang sejak tadi menemaniku. Mocca - Secret Admirer. Jariku masih melompat-lompat di atas keypad bergoyang ini. Ah, aku suka suasanya sepi dimana hanya aku dan earphone serta suar khas keypad yang timbul akibat tekanan. "cethek.... cethek.... cethek.."
Aku benci ketika harus memikirkan tentang kamu yang meiliki perasaan sama atau tidak. Aku benci menjadi gelisah ketika sendirian seperti ini. Gelisah akan membuatmu bertanya terus. Mempertanyakan segala sesuatu, kenapa tidak begini kenapa tidak begitu saja toh nantinya begini atau toh nantinya begitu. Sekarang aku jadi bertanya, apa yang aku gelisahkan? Kamu? Tidak.
Momen yang langka datang, ketika tulisanmu terkesan memanggilku. Aku tau kamu tak menuliskan namaku disitu, tapi aku merasa terpanggil dan rasanya ingin membalas dengan sapaan "hai.." kek kamu. Ah, aku malu.
Setelah aku mengumpulkan nyaliku, aku tak mendapati dirimu muncul disitu lagi.
Lain kali aku harus lebih cepat mengambil tindakan.
Your Secret Admirer.
Komentar
Posting Komentar